KEUTAMAAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK MENURUT ISLAM

Oleh: Ibnu Abdillah (ASISTEN AHLI KOMISIONER KOTA CIREBON)

Dalam pengelolaan keuangan negara Republik Indonesia yang cukup besar ini, di mana didalamnya terdapat amanah untuk melaksanakan perintah Undang Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat (1) yang berbunyi “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maka, pengemban amanah yang biasa kita sebut sebagai “pejabat pemerintahan” harus mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan yang bersumber dari berbagai macam sumber pendapatan negara tersebut secara professional, transparan dan akuntabel, sehingga pemerintahan tersebut akan memperoleh predikat good governance.

          Terlebih lagi pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang ditetapkan pada tanggal 30 April 2008. Perintah secara teknis untuk para badan publik (lembaga pemerintahan atau non pemerintahan yang sebagian atau seluruhnya menggunakan uang negara) agar bisa menyajikan informasi yang memadai kepada masyarakat luas, semakin jelas perintahnya. Secara konseptual, aturan mengenai kewajiban badan publik untuk menyajikan informasi kepada masyarakat luas sudah cukup ideal. Hanya saja, pelaksanaan aturan tersebut yang masih harus ditingkatkan secara terus menerus.

          Dalam ajaran Islam, keterbukaan informasi juga mencerminkan keluhuran akhlak seseorang atau badan publik. Dalam surah al Maidah ayat 67 yang berbunyi :

 

……ياأيُّهَا الرَسُول بَلِّغ ما أنزَلَ إليكَ من ربِّك, وإن لَّم تَفعَل فَما بَلَّغت رِسالَته, والله يَعصِمُك من النَّاس

 

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (perintah-NYA), kamu tidak menyampaikan amanat-NYA. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia,…..”

          Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut, yaitu ayat tersebut memerintahkan Rasul untuk memberikan kabar kepada manusia akan apa-apa yang telah diwahyukan Tuhan kepada Rasul. Ajaklah mereka untuk mengikutinya. Jangan takut disakiti oleh seseorang. Bila kamu takut, maka berarti kamu tidak menyampaikan risalah Allah. Sebab kamu telah diperintahkan untuk menyampaikannya kepada semua.

          Jika ayat tersebut dianalogikan secara sederhana (tidak bermaksud menafsirkan), bahwa menyampaikan informasi yang memang menjadi kewajiban dari seorang pemimpin terhadap rakyat, atau badan publik kepada pengguna informasi publik (masyarakat), sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban penggunaan/pengelolaan keuangan negara, adalah merupakan kewajiban yang bernilai Islami sebagaimana ayat di atas.

          Penyelenggara pemerintahan atau lembaga non pemerintahan yang menggunakan anggaran negara (badan publik), menurut Islam wajib menerapkan konsep shidq (jujur) dan amanah. Masyarakat sebagai pengguna layanan yang diadakan oleh badan publik tersebut tidak akan bisa menjamin terselenggaranya pelayanan publik apabila masyarakat itu sendiri tidak mampu mengetahui untuk apa saja dan bagaimana saja pelayanan tersebut dijalankan.

          Dalam hal ini, berlaku kaidah ushul fiqh :

ما لا يتِمُ الوَاجِب الا به فَهُوَ واجِب

“Tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu yang lain. Maka sesuatu itupun hukumnya menjadi wajib”. Artinya, jika sifat shidq dan amanah dari badan-badan publik adalah keharusan (kewajiban), maka alat untuk menguji shidq dan amanahnya juga menjadi wajib. Alat uji yang dimaksud adalah transparency (keterbukaan) informasi. Jadi, keterbukaan informasi menjadi wajib keberadaannya untuk mendorong badan-badan publik agar bersifat shidq dan amanah.

          Bukan hanya itu, bahwa transparansi atau keterbukaan informasi juga dapat mencegah perilaku korupsi. Ann Florini, seorang penulis buku The Coming Democracy menyatakan bahwa keterbukaan informasi adalah komponen esensial dalam demokrasi. Keterbukaan informasi adalah salah satu perangkat bagi masyarakat untuk mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pejabat pada suatu badan publik. Di sinilah titik temu antara keterbukaan informasi dengan demokratisasi yang tentu saja demokratisasi tersebut akan mencegah tindakan-tindakan ilegal yang mengarah kepada tindakan korupsi.

Oleh karena itu, jika kita merujuk pada kaidah fiqh:

دَرءُ المَفَاسِد أَولىَ مِن جَلْبِ المَصَالِح فإذا تَعَارَضَ مَفسَدَةٌ وَمَصلَحَةٌ قُدِّمَ دَفْعُ المَفْسَدَةِ غَالِبًا

 “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan, apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka didahulukan menolak yang mafsadah”. Maka, keterbukaan informasi merupakan sesuatu yang harus didahulukan untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan koruptif yang merusak. Bahkan, tingkatan keterbukaan informasi sebagai pencegahan lebih utama (lebih tinggi) dibandingkan dengan penindakan kasus-kasus korupsi.

Penindakan kasus-kasus yang merugikan negara atau merugikan masyarakat hanyalah menindak para tersangka yang sudah dibidik oleh penegak hukum, tetapi sama sekali tidak menjamin hilangnya tindakan penyelewengan atas penegakan hukum tersebut. Tetapi, ketika langkah pencegahan digencarkan terus menerus, maka sangat dimungkinkan tindakan-tindakan ilegal dan koruptif berangsur-angsur berkurang. Semakin informatif sebuah lembaga, maka akan semakin sedikit peluang penyelewengannya. Semakin informatif sebuah negara, maka akan semakin baik demokratisasinya.