FGD “(Focus Group Discussion)” PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI BERSAMA PRAKTISI HUKUM

 

Penyelesaian Sengketa Informasi sebgaimana fungsi utama dari Komisi Informasi adalah tema yang sangat dinamis. Banyak hal yang masih perlu dikaji secara mendalam untuk membedah fungsi tersebut agar betul-betul memenuhi hak para pengguna informasi. Di sisi yang lain, Komisi Informasi pun hanyalah sebuah lembaga pemerintah yang tidak dapat mengeluarkan keputusan yang mengandung konsekuensi hukum pidana maupun perdata. Oleh karena itu, Komisi Informasi Kota Cirebon membuat sebuah focus group discussion mengenai penyelesaian sengketa informasi bersama dengan praktisi hukum.

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Ketua KI Kota Cirebon, Adi Arifudin, dan para anggotanya yaitu Jauhari Ahmad dan Ekki. Pemaparan lengkap mengenai kedudukan dan fungsi Komisi Informasi sebagaimana diatur di dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP berikut dengan PERKI yang mengatur tentang KI, termasuk PERKI tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP) dan PERKI tentang Penyelesaian Sengketa Informasi.

Jauhari memaparkan perjalanan penyelesaian sengketa informasi yang sampai hari ini belum menemukan formula untuk menajamkan putusan Majelis Komisioner dalam proses ajudikasi non litigasi. Ada persoalan yang mengganjal, salah satunya adalah terkait dengan hasil mediasi yang menemui titik temu, tetapi setelah diputuskan oleh majelis komisioner, termohon tetap tidak memberikan informasi yang diminta oleh pemohon. Padahal seharusnya dalam sengketa yang telah diputuskan, sebaiknya tidak ada yang merasa dirugikan, apalagi telah menemui kesepakatan pada mediasi.

Dengan posisi lembaga KI yang masih belum mempunyai susunan dan kedudukan secara mandiri, artinya masih menjadi bagian dari Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistika, KI belum mampu berkoordinasi secara strategis dengan lembaga-lembaga penegak hukum, terutama kepolisian. Sehingga KI belum mampu menghubungkan putusan majelis komisioner dengan lembaga terkait, kepolisian misalnya. Jika memungkinkan pun, perlu aturan yang mengikat dari KI Pusat sehingga menjadi produk hukum yang legal.

Menurut praktisi hukum yang dihadirkan, Mukhtaruddin dan Eko Suprijandi bahwa di dalam putusan itu seharusnya ada klausul yang memperjelas konsekuensi akibat tidak dilaksanakannya putusan. Sebagai contoh kasus putusan atas mediasi, harus ada klausul “apabila termohon tidak memberikan informasi kepada pemohon, maka… “ sehingga jelas kedudukannya. Hanya saja memang mengingat lembaga KI ini adalah lembaga penyelesaian sengketa yang sifatnya kuasi peradilan. Ini sungguh menarik untuk didiskusikan lebih dalam. Tetapi prinsipnya, harus ada formula agar putusan majelis komisioner ini dapat memenuhi keinginan termohon maupun pemohon, apalagi selesai dengan cara mediasi.

Diskusi berlangsung dinamis dan kritis dengan pemaparan berbagai contoh-contoh kasus sengketa informasi yang pernah diputus oleh Komisi Informasi. Diskusi ini akan menjadi bahan untuk KI Kota Cirebon dalam menyusun metode penyelesaian sengketa informasi agar hak-hak pengguna informasi yang mengajukan permohonan terpenuhi dan badan publik yang menjadi termohon pun tidak merasa keberatan atas putusan majelis komisioner.